Oleh Dr. Ayi Sobarna, M.Pd. (Ketua Program Studi PG PAUD FTK Unisba)
BELAKANGAN ini, isu larangan study tour oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menjadi perbincangan hangat, tidak hanya di Jawa Barat tetapi juga di sejumlah provinsi lain. Ada yang mendukung penuh kebijakan ini, namun tak sedikit yang mempertanyakan: benarkah ini langkah paling tepat? Apakah sang gubernur benar-benar menolak konsep study tour?
Jika dilihat dari niatnya, kebijakan tersebut lahir dari rasa peduli. Gubernur berupaya melindungi siswa dari kegiatan study tour yang lebih menyerupai “piknik berbungkus pendidikan” — sarat konsumtif, minim edukasi. Bahkan, tak jarang membebani keuangan orang tua, membuka peluang bisnis tak sehat, hingga memicu rasa iri di antara siswa.
Namun, menyapu bersih semua study tour berisiko menghilangkan manfaat yang sebenarnya besar. Jika diselenggarakan dengan tepat, study tour justru dapat menjadi pilar pendidikan holistik — memperluas wawasan, membangun keterampilan sosial, dan menanamkan nilai kebangsaan secara langsung di lapangan.
Masalahnya, esensi kegiatan ini mulai bergeser. Kini, banyak study tour berubah menjadi agenda wisata mewah tanpa arah pembelajaran jelas: mengunjungi mal, menginap di hotel berbintang, atau plesiran ke luar kota. Akibatnya, manfaat belajar berkurang, jurang ekonomi antar siswa melebar, dan sebagian orang tua merasa keberatan. Di beberapa sekolah, kegiatan ini bahkan menjadi agenda rutin yang kehilangan tujuan awalnya.
Alih-alih melarang total, solusi yang lebih tepat adalah penataan ulang. Pemerintah provinsi bisa membuat panduan resmi: menentukan destinasi edukatif, membatasi biaya, menetapkan target pembelajaran yang terukur, serta menyediakan alternatif bagi siswa yang tidak bisa ikut.
Dulu, study tour sederhana tapi sarat ilmu. Siswa diajak ke museum, pabrik tahu, peternakan, atau sanggar seni, melihat langsung proses dan merasakan pembelajaran nyata. Sekarang, nuansa itu sering tergeser oleh agenda foto dan konsumsi, dengan dalih “membuat anak senang” namun mengorbankan substansi.
Ke depan, bayangkan study tour yang kembali bermakna: kunjungan ke pusat teknologi lokal, berdialog dengan petani organik, atau mempraktikkan pembuatan kerajinan khas daerah. Di era Kurikulum Merdeka, ini sejalan dengan pembelajaran berbasis proyek dan konteks nyata.
Di Jawa Barat, ribuan sekolah mengadakan study tour tiap tahun dengan total biaya miliaran rupiah. Seperti pisau, kegiatan ini bisa bermanfaat atau membahayakan, tergantung siapa yang mengatur dan bagaimana pelaksanaannya.
Ada kisah inspiratif dari seorang guru di pedesaan Jawa Barat yang mengajak muridnya ke kebun kelor warga. Anak-anak belajar mengenali tanaman, mengolah panen, hingga membuat minuman herbal sederhana. Biaya per anak? Hanya dua puluh ribu rupiah. Tanpa hotel, tanpa bus pariwisata, tapi mereka pulang dengan cerita dan semangat baru. Apakah kegiatan seperti ini pantas dihapus hanya karena ada praktik buruk di tempat lain?
Tiga langkah penting untuk membenahi praktik study tour:
Tetapkan panduan dan standar edukatif — buat daftar destinasi belajar, termasuk UMKM, pesantren produktif, lembaga riset, dan situs sejarah.
Beri ruang kreativitas untuk sekolah — tidak semua harus keluar kota; kegiatan lokal yang sederhana sering kali lebih berkesan.
Ciptakan sistem pengawasan transparan — libatkan komite sekolah dan orang tua agar terhindar dari pungli dan manipulasi.
Jika dikelola dengan benar, study tour menawarkan manfaat tak tergantikan:
Pembelajaran kontekstual yang menghubungkan teori dengan kenyataan di lapangan.
Peluang memperluas wawasan sosial dan menumbuhkan toleransi.
Peningkatan motivasi belajar melalui pengalaman langsung.
Latihan kemandirian dan tanggung jawab dalam mengatur diri.
Inspirasi karier masa depan lewat kunjungan dunia kerja.
Dengan perencanaan matang, study tour bukan sekadar “jalan-jalan” tetapi laboratorium kehidupan yang mengasah kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa.
Jadi, apakah Gubernur Dedi Mulyadi anti study tour? Sejatinya tidak. Ia menolak praktik yang menyimpang dari tujuan pendidikan. Larangan total bukanlah jawabannya; penataan yang tepat jauh lebih efektif. Ibarat petani, masalah gulma tidak diatasi dengan membabat semua tanaman, melainkan mencabut gulmanya agar padi tetap tumbuh subur.
Gubernur Dedi dikenal tidak kaku. Ia pernah mencabut keputusan penghentian operasional Bandara Husein Sastranegara ketika dampaknya lebih merugikan. Pemimpin sejati tidak segan merevisi kebijakan demi kebaikan yang lebih besar. Karena itu, bukan tidak mungkin ia juga mempertimbangkan ulang larangan study tour jika ada masukan bijak dari guru, orang tua, dan pihak terkait.
Daripada terus berdebat soal larangan atau tidak, lebih baik fokus mencari cara agar study tour kembali membumi: membentuk karakter, memperkaya pengalaman, dan meninggalkan jejak mendalam di hati pelajar. Sebab pendidikan sejati tak hanya hidup di ruang kelas, tetapi juga di perjalanan, di sawah, di pabrik, di museum, dan di dunia nyata yang siap dijelajahi.**