Oleh: dr. Winni Maharani Mauliani, M.Kes
FAKULTAS Kedokteran Universitas Islam Bandung (FK Unisba) yang kini memasuki usia ke-21 telah melahirkan 1.954 dokter yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Jumlah lulusan yang besar ini bukan hanya sebuah capaian, tetapi juga modal berharga untuk dikembangkan dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat di mana pun mereka berada.
Salah satu komunitas yang masih menghadapi tantangan kesehatan cukup serius adalah pesantren tradisional di daerah. Selama ini, pesantren kerap dikaitkan dengan penyakit kulit skabies—atau dikenal dengan istilah “budug” dalam bahasa Sunda. Bahkan, di sejumlah tempat masih beredar mitos bahwa skabies merupakan “paket wajib” bagi santri, bahkan dianggap sebagai anugerah dalam proses menuntut ilmu. Pandangan ini tentu menyedihkan, sebab calon khalifah di muka bumi seharusnya tampil kuat secara fisik dan cerdas secara ilmu, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 247 tentang basthotan fil ilmi wal jismi (luas ilmu dan kuat fisiknya).
Survei yang dilakukan Tim PKM FK Unisba tahun 2022–2023 menemukan bahwa 50–60 persen santri laki-laki di Pesantren Sabilunnajat, Kecamatan Rancah, Kabupaten Ciamis, masih menderita skabies. Bahkan sekitar 5 persen di antaranya mengalami infeksi sekunder. Melihat kondisi tersebut, FK Unisba melalui program hibah internal Unit Penelitian dan PKM tahun anggaran 2024–2025 bekerja sama dengan pimpinan pesantren melaksanakan pengabdian masyarakat bertajuk: “Pemberdayaan Dokter Alumni dalam Pendampingan PHBS dan Produksi Sabun Herbal sebagai Upaya Eliminasi Skabies di Pesantren Sabilunnajat Kabupaten Ciamis.”
Program ini diketuai oleh dr. Winni Maharani Mauliani, M.Kes, dengan dukungan anggota tim: Ratna Dewi I.A., dr. Alvira Widiyanti, M.Kes, serta lima mahasiswa FK Unisba.
Pembukaan dan Perencanaan Program
Kegiatan resmi dimulai pada 8 Juni 2025 dengan pertemuan tim pengabdi dan Persatuan Dokter Alumni Priangan Timur yang dipimpin dr. Maryam Hazrina (alumni 2010) bersama 37 anggotanya. Dari pertemuan ini lahir sejumlah rencana aksi, antara lain pemeriksaan santri oleh dokter alumni yang berdomisili di sekitar pesantren, penyusunan kurikulum edukasi kesehatan diri (self hygiene), serta pelatihan keterampilan membuat sabun herbal berbahan alami. Harapannya, para santri tidak hanya sehat, tetapi juga produktif dengan keterampilan tambahan.
Hingga Juli 2025, kegiatan penjaringan berhasil memeriksa 79 santri dengan klasifikasi tiga kategori: merah (skabies dengan infeksi sekunder), kuning (skabies tanpa infeksi sekunder), dan hijau (santri sehat). Hasilnya menunjukkan perbaikan signifikan dibanding survei dua tahun sebelumnya. Kini, jumlah santri yang terkena skabies turun menjadi 32 persen, dengan hanya 3 persen yang mengalami infeksi sekunder.
Keberhasilan ini menjadi bukti nyata bahwa kolaborasi antara dokter alumni FK Unisba dan tim PKM dosen dapat meningkatkan derajat kesehatan di pesantren. Harapannya, kerja sama ini terus berlanjut sehingga istilah “santri budug” dapat benar-benar tergantikan oleh “santri sehat dan berkarya.”**