MAKNA WAKTU PERGANTIAN TAHUN DALAM  BERBAGAI PERSPEKTIF PEMIKIRAN KITA

admin@jabar
By admin@jabar

 

BANDUNG, BERITA JABAR COM..
Berbicara tentang lama tidaknya waktu yang berjalan memang sudah ada hitungan bakunya. Tanpa kita sadar, sebenarnya hitungan panjang pendeknya waktu sebenarnya tergantung pada kesadaran kita akan fase hidup yang sedang dialami. Pada bagaimana kita menyadari betapa berharganya waktu.

Demikian benang merah yang disampaikan dalam acara Seri Ritual Pengetahuan Cerdas Berbudaya “FENOMENA ALAM DAN MAKNA WAKTU PERGANTIAN TAHUN DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF PEMIKIRAN KITA” (KONSEP WAKTU, PERUBAHAN, DAN KEBUDAYAAN) dalam agenda yang bertepatan dengan Sabtu, 22 JULI 2022 Masehi (Tumpek Manis, 12 Kresnapaksa KARTIKA 1960 Ḉaka Sunda Tumpek Manis, 30 KAPITU 1945 Saka Sunda Wuku: TAMBIR 4 MUHARAM 1445 Hijiriah 4 Wage SURO 1957 Asapon/Jawa) menghadirkan tokoh masyarakat, agama dan praktisi budaya memberikan makna terkait pengembangan budaya dan literasi kesundaan agar tetap bisa sesuai dengan perkembangan zaman di era milenial dan generasi Z (Gen Z).

Seri Ritual Pengetahuan yang dilaksanakan Yayasan BESTDAYA (Bengkel Studi Budaya) setiap hari Sabtu (Tumpek; nama hari Sabtu dalam Kalender Sunda) adalah merupakan kegiatan untuk memberikan edukasi dan gambaran tentang pentingnya sistem penanggalan kalender tradisional dalam peradaban manusia, serta mendapatkan masukan bagi penajaman dan penyempurnaan substansi nilai-nilai warisan leluhur di Bumi Nusantara.

Pada Seri kali ini pelaksanaan dipusatkan di Ruang Paseban Narayana Balaikota Bogor yang dilakukan melalui Daring (online via zoom meeting) juga secara Luring (offline) di Savoy Homann Hotel Kota Bandung dan di Hotel Salak The Heritage Kota Bogor, Sabtu (22/07).

Miranda H. Wihardja ahli/pengelola Kalender Sunda yang hadir di Savoy Homann Kota Bandung bersama Budayawan/Spritual Rahmat Basudewa (Abah Dago) dan beberapa orang Pancen Caka Sunda mengatakan bahwa pada tahun 1960 Caka Sunda yang disimbolkan sebagai Tahun Hurang Tutug (Udang) yang dalam perhitungan Kalender Sunda bermakna sebagai tahun dengan watak “setan”. Sehingga dalam memaknai waktu sepanjang tahun Hurang Tutug ini kita harus lebih banyak untuk berhati-hati menjalani hidup dan kehidupan.

Sementara itu di Ruang Paseban Narayana Balaikota Bogor, Ketua Pelaksana Kegiatan, Hj. Elimayanti Padmawijaya (Owner Elitis Daya Media) didampingi Sekretaris Elitis Daya Media, Hj. Srie Maptuhah, M.Pd., menyampaikan bahwa mengambil peran kecil dalam ketahanan budaya Nusantara utamanya adalah budaya tradisional Sunda dalam memperkenalkan sistem penanggalan tradisional Kalender Sunda sebagai Cakrawala waktu Sunda khususnya di Tatar Sunda (Provinsi Jawa Barat). Hal ini sebagai cikal bakal untuk memajukan kebudayaan di Kota Bogor yang diharapkan nantinya Bogor sebagai Kota Budaya berdasarkan sejarahnya pernah menjadi Ibukota Kerajaan Pajajaran.

Turut hadir melalui daring (zoom meeting) Dian Herdiawan Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kota Bogor mewakili Pemerintah Kota Bogor, mengatakan Tradisi sedekah bumi dilakukan sebagai perwujudan wujud rasa syukur kepada tuhan atas limpahan rahmat akan hasil bumi. Pada era modern saat ini suatu budaya atau tradisi harus disesuaikan dengan arus global agar kelanggengan dari suatu budaya atau tradisi tetap terjaga.

Praktisi Pendidikan yang sehari-hari bertugas sebagai guru di Jakarta Hj. Srie Maptuhah, M.Pd. menjelaskan untuk dapat kembali menanamkan budaya Sunda di kalangan masyarakat generasi Z dan milenial harus ada peran serta orang tua dalam mengasah dan mengolah akar budaya tersebut. “Penjelasan yang dapat diterima oleh generasi Z haruslah sesuai dengan gaya dan sikap kekinian sehingga bisa lebih mengarah pada literasi untuk menciptakan generasi muda yang mengenal adab kearifan lokal di Tatar Pasundan,” ungkapnya.

Sementara itu DR Syarifah Chasanah Soebono yang juga hadir di Balaikota Bogor mengatakan dari sisi kejiwaan masyarakat Sunda memang sudah berakulturasi dengan budaya lain di nusantara sehingga harus ada cara agar mereka mau dan tetap memegang teguh ageman dalam masyarakat dari petuah adat istiadat.
“Pengenalan kejiwaan secara menyeluruh maka kesadaran untuk mengenal budaya Sunda akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman sehingga bisa lebih melakukan daya dan upaya untuk kemajuan Tatar Pasundan dengan tetap beradaptasi kemajuan teknologi dan budaya,” kata istri Kepala Staf TNI Angkatan Laut Ke-7, Laksamana TNI (Purn.) Ricardus Subono ini.

Syarifah Chasanah yang juga bergelar “The Eagle Queen of Baghdad” selanjutnya berkaitan dengan makna waktu dalam perspektif kita, bahwa di lingkungan masyarakat Jawa dan Sunda, agama ibarat ageman atau pakaian. Pakaian juga sering disebut sebagai sandang yang selalu dikaitkan dengan pangkat, jabatan, dan harga diri. Kata sandang disebut lebih dulu baru kemudian pangan memiliki makna dan pesan yang cukup dalam. Jika seseorang terjepit sehingga harus memilih sandang atau pangan, di situ akan kelihatan kualitas dan jalan pikiran seseorang. Seseorang yang memilih pangan berarti derajatnya sama dengan hewan. Yang penting makan meski telanjang. Orang yang memiliki harga diri akan memilih sandang. Sandang menunjukkan martabat dan harga diri. Jabatan pun sering dipandang sebagai pakaian sehingga ada istilah ”menyandang jabatan”. Jika orang berpakaian, terbuka banyak jalan mencari pangan. Begitu pula halnya dengan agama. Ibarat pakaian atau ageman, orang beragama agar martabat dan harga diri naik serta terjaga. Setidaknya terdapat tiga fungsi utama pakaian: menjaga kesehatan, menutupi aib atau aurat, dan memperindah penampilan. Jadi, jika ada orang mengaku beragama, terlebih yang bersuara lantang mengaku sebagai front pembela agama, perilakunya mesti terpuji dan indah dipandang serta didengar. Sebab, jabatan juga ibarat pakaian. Maka, siapa pun yang menduduki jabatan mesti menjaga kehormatan diri serta merasa nyaman melaksanakan tugasnya. Jangan sampai kehormatan dan martabat sebuah jabatan dikorbankan hanya demi mengejar pangan atau kekayaan materi secara tak wajar. Itu sama dengan berpakaian tetapi auratnya terbuka: bikin malu yang mengenakan ataupun yang melihat.

Anggota DPD RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat, Dra. Ir. Eni Sumarni, M.Kes., yang turut menyampaikan sambutan melalui daring (zoom meeting) mengatakan bahwa Sistem Penanggalan Kalender Sunda adalah asset kekayaan budaya bangsa sunda yang harus terus digaungkan bersama kalender lainnya. Semoga pemerintah khususnya di Jawa Barat berkenan untuk membuat peraturan daerah berkaitan dengan produk kearifan lokal dalam memaknai waktu.

Ketua Cinta Budaya Nusantara (CBN) Mustikarasa Bogor, Hj. Cahriani, S.H., M.Kn. yang juga seorang notaris di Kota Bogor melalui daring (zoom meeting) memaparkan alam kegiatan pengenalan literasi budaya juga memasukkan unsur kekinian dengan tidak terbatas ruang dan waktu sehingga teknologi digital menjadi salah satu cara untuk mendekatkan semua elemen masyarakat kesundaan dalam dan luar negeri.

Menurut Ketua Umum Forum Keluarga Paranormal dan Penyembuh Alternatif Indonesia (FKPPAI), H. Musli Siregar, S.E.,CH.CHT., yang lebih dikenal sebagai Kisawung Saung Rahsa yang juga hadir melalui daring (zoom meeting) mengatakan bahwa makna waktu yang tertera pada Kalender Sunda dalam perspektif paranormal/supranatural adalah sebagai pengingat waktu dalam upaya menjaga agar kearifan lokal tetap lestari di Bumi Nusantara, sehingga kita bisa memahami waktu yang berenergi dalam setiap langkah kehidupan.

Ketua Umum Yayasan Orhiba (Olahraga Hidup Baru) Indonesia Widya Mukti menambahkan, olah raga tak harus membutuhkan waktu dan tenaga besar. Dewasa ini banyak olah raga yang ringan dan efektif sehingga bisa dijalankan juga oleh para orang tua lanjut usia (lansia). “Senam Orhiba merupakan olah raga praktis yang bisa dilakukan siapa saja, kapan saja, dan di mana saja,” kata Widya yang juga ikut berpartisipasi dalam acara ini melalui daring (zoom meeting).

Acara dimulai sejak pukul 14.20 sesuai dawuh dalam Kalender Sunda dibuka dengan Kidung Rajah Bubuka dan berakhir pada pukul 17.40 serta ditutup dengan do’a yang dibacakan oleh Kang Haji Amin Hendradipura, S.H. Sebelum menutup berdo’a Kang Haji menyampaikan makna yang terkandung dalam simbol Hurang Tutug bahwa waktu dan cinta itu jangan dinanti, tapi harus didapati dengan keberanian dan keikhlasan serta keridhoan hati.

Dalam penutupan acara terlihat juga hadir Habib Gamal Assegaf bersama Habib Fickry Aasegaf untuk turut menyampaikan salam simpati. Juga turut serta Komang Alesha Rahayu Anggraeni, yang mendampingi DR Syarifah Chasanah Soebono.

Hj. Elimayanti Padmawijaya dalam sambutan penutupnya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pemerintah Kota Bogor melalui Bapak Wakil Walikota Bogor, Drs. H. Dedie A. Rachim S. Wiriaatmaja, M.A yang telah berkenan memberi izin fasilitas tempat untuk mengadakan acara di Kota Bogor. Juga kepada Yayasan BESTDAYA (Bengkel Studi Budaya) di Bandung yang telah memberi kepercayaan untuk tugas mulia menyelenggarakan Seri Ritual Pengetahuan selama ini.

SECARA teori, rotasi bumi merujuk pada gerakan berputar planet bumi pada sumbunya. Bumi berputar ke arah timur, berlawanan arah jarum jam. Putaran bumi ternyata mengikuti gerak tawaf mengelilingi Kakbah. Akibat pergerakan pada sumbunya, setiap daerah di bumi mengalami siang dan malam, walaupun dengan panjang siang dan malam yang berbeda-beda. Pergantian siang dan malam menandakan terjadinya pergantian waktu. Kondisi ini menjadi dasar hitungan waktu. Di antara hitungan waktu adalah pergantian tahun yang diperingati manusia seluruh dunia. Jadi, pergantian waktu sesungguhnya disebabkan adanya rotasi bumi pada sumbunya. Hal ini merujuk pada firman Allah: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal” (QS. Ali Imran: 190).

Di ujung ayat di atas, Allah menekankan hanya orang yang berakal mampu memetik makna atas tanda-tanda yang Allah berikan. Ketika melihat ciptaan-Nya, bukan mata yang melihat, tapi otak yang menangkap. Mata hanya sebagai kamera menyampaikan informasi pada otak. Tapi, otak tak mampu mengolah apa yang ditangkap. Pengolahan ayat-Nya hanya oleh akal yang terbimbing. Jadi, meski setiap manusia memiliki otak, tapi tak semua memiliki akal yang akan mengangkat kemuliaan dirinya. Sebab, tanda berakal tatkala ia senantiasa berpikir untuk melihat ayat-ayat-Nya bagi membangun peradaban yang rahmatan lil ‘aalamiin.

Lalu, apa makna pergantian tahun yang dipilih ? Terjadi penurunan berarti celaka, tetap tak bergeming (stagnan) berarti merugi, atau senantisa memperbaiki diri sebagai bentuk kesyukuran pada nikmat Allah berarti beruntung. Semua tergantung kualitas isi karakter setiap diri. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab. (Id/BNN)

Share This Article
Leave a Comment